Senin, 16 Februari 2009

Moneter Indonesia

Setelah berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter di Indonesia secara umum ditetapkan oleh Dewan Moneter dan pemerintah bertanggung jawab atasnya. Mengingat buruknya perekonomian pasca perang, yang ditempuh pertama kali dalam bidang moneter adalah upaya perbaikan posisi cadangan devisa melalui kegiatan ekspor dan impor. Pada periode ekonomi terpimpin, pembiayaan deficit spending keuangan negara terus meningkat, terutama untuk membiayai proyek politik pemerintah. Laju inflasi terus membumbung tinggi sehingga dilakukan dua kali pengetatan moneter, yaitu tahun 1959 dan 1965. Lepas dari periode tersebut pemerintah memasuki masa pemulihan ekonomi melalui program stabilisasi dan rehabilitasi yang kemudian diteruskan dengan kebijakan deregulasi bidang keuangan dan moneter pada awal 1980-an. Di tengah pasang surutnya kondisi perekonomian, lahirlah berbagai paket kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat struktur perekonomian Indonesia.

Mulai pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi moneter menerpa Indonesia. Nilai tukar rupiah melemah, sistem pembayaran terancam macet, dan banyak utang luar negeri yang tak terselesaikan. Berbagai langkah ditempuh, mulai dari pengetatan moneter hingga beberapa program pemulihan IMF yang diperoleh melalui beberapa Letter of Intent (LoI) pada tahun 1998. Namun akhirnya masa suram dapat terlewati. Perekonomian semakin membaik seiring dengan kondisi politik yang stabil pada masa reformasi. Sejalan dengan itu, tahun 1999 merupakan tonggak bersejarah bagi Bank Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3/2004. Dalam undang-undang ini, Bank Indonesia ditetapkan sebagai lembaga tinggi negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Sesuai undang-undang tersebut, Bank Indonesia diwajibkan untuk menetapkan target inflasi yang akan dicapai sebagai landasan bagi perencanaan dan pengendalian moneter. Selain itu, utang luar negeri berhasil dijadwalkan kembali dan kerjasama dengan IMF diakhiri melalui Post Program Monitoring (PPM) pada 2004.

1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode

1997 - 1999

Sejak Juli 1997 telah terjadi krisis

ekonomi moneter yang menggoncang

sendi-sendi ekonomi dan politik

nasional. Bagi perbankan, krisis telah

menimbulkan kesulitan likuiditas yang

luar biasa akibat hancurnya Pasar

Uang antar Bank (PUAB). Sebagai

lender of the last resort BI harus

membantu mempertahankan

kestabilan sistem perbankan dan

pembayaran untuk mempertahankan

kelangsungan ekonomi nasional. Nilai

tukar Rupiah terus merosot tajam,

pemerintah melakukan tindakan pengetatan Rupiah melalui kenaikan suku bunga

yang sangat tinggi dan pengalihan dana BUMN/yayasan dari bank-bank ke BI (SBI)

serta pengetatan anggaran Pemerintah. Ternyata kebijakan tersebut menyebabkan

suku bunga pasar uang melambung tinggi dan likuiditas perbankan menjadi kering

yang menimbulkan bank kesulitan likuiditas. Segera setelah itu masyarakat

mengalami kepanikan dan kepercayaan mereka terhadap perbankan mulai menurun.

Maka terjadi penarikan dana perbankan secara besar-besaran yang sekali lagi

menimbulkan kesulitan likuiditas pada seluruh sistem perbankan. Akibatnya sistem

pembayaran terancam macet dan kelangsungan ekonomi nasional tergocang. Untuk

itu pada Oktober 1997, pemerintah mengundang IMF untuk membantu program

pemulihan krisis di Indonesia. Pada 31 Oktober 1997 disetujui LoI pertama yang

merupakan program pemulihan krisis IMF. Pemerintah antara lain menyatakan akan

menjamin pembayaran kembali kepada para deposan.

Memasuki 1998 keadaan ekonomi semakin memburuk, nilai Rupiah terhadap Dollar

tertekan hingga Rp 16.000 hal tersebut disebabkan pasokan barang yang menurun

dengan tajam karena kegitan produksi berkurang dan jalur distribusi terganggu

karena rusaknya sentra-sentra perdagangan karena kerusuhan Mei 1998. Pada 15

Januari 1998 Pemerintah mempercepat program stabilisasi dan reformasi ekonomi

dengan LoI kedua. LoI kedua diikuti dengan LoI ketiga 8 April 1998 yang mencakup

program stabilisasi Rupiah, pembekuan 7 bank dan penempatan nya pada BPPN

serta penyelsaian hutang swasta dengan Pemerintah sebagai mediator. Kemudian

LoI keempat pada 25 Juni 1998 yang mencakup revisi atas target-target ekonomi

dan penyediaan Jaringan Pengaman Sosial (JPS).

Selain mengatasi krisis moneter, pemerintah juga juga membantu menyelesaikan

pinjaman luar negeri sektor swasta. Diantaranya pemerintah membentuk Tim

Penyelesaian Utang Luar Negeri Swasta (TPULNS) yang menghasilkan kesepakatan

di Frankfurt pada 4 Juni 1998 tentang penyelesaian utang luar negeri swasta. Masih

dalam upaya yang serupa, pemerintah membentuk INDRA (Indonesian Restructuring

Assets) yang bertugas melindungi debitur Indonesia dari resiko perubahan nilai tukar

pada jumlah hutangnya. Kemudian pada 9 September 1998 pemerintah membentuk

Prakarsa Jakarta untuk menyediakan akses bagi perusahaan agar dapat mendaptkan

modal baru guna menggerakkan kembali usahanya. Langkah tersebut diambil

sebagai bagian dari program restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan.